Senin, 25 Mei 2009

BENTUK-BENTUK PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM ISLAM

I. PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeuarga yang diridloi oleh Allah SWT.

Dari pengertian itu dapat kita ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga yang bahagi, kemudoian menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih saying.

Dalam agama islam sudah jelas mana pernikahan yang dilarang dan mana yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin Mut'ah, kawi Syighor dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang=orang bagaikan binatang yang memiliki rinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.

Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu pernikahan yang sesauai dengan syari'atseperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah sayu diantara syarat-syarat terssebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak sah atau batal.

II. PERMASALAHAN

Apasaja bentuk pernikahan yang dilarang dalam islam serta sebab dan akibat hukumnya

.

III. PEMBAHASAN

Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.

Adapun bentuk-bentuk pernikahan yang dilarang dalam island antara lain :

1. Nikah Mut'ah

· Pengertian Mut’ah

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati.[1] Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.

Dalam kitab minhajul muslimin halaman 437 disebutkan " Nikah mut'ah adalah nikah yang dilakukan sampai batas waktu tertentubaik masa itu lama ataupun sebentar, seperti laki-laki menikahi perempuan pada masa tertentu seperti satu bulan atau satu tahun."

· Hukum

Sesungguhnya Rosulullah melarang nikah mut'ah dan daging himar pada mas aperang khoibar[2]

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا

خَرَجَ عَلَيْنَا مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا يَعْنِي مُتْعَةَ النِّسَاءِ

Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

Seorang yang akan memberikan pengumuman dari Rasulullah saw. keluar menghampiri kami dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. sudah mengizinkan kamu sekalian untuk menikahi kaum wanita secara mut`ah

قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَقُولُا

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَنَا نِسَاءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ إِلَى أَجَلٍ ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللَّهِ

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ }

Abdullah bin Mas`ud ra., ia berkata:

Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw. tanpa membawa istri lalu kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri? Beliau melarang kami melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk menikahi wanita dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu Abdullah membacakan ayat: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[3]

Namun golongan syi’ah dalam hal ini ada yang membolehkan nikah mut’ah dengan syarat-syarat sebagai berikut “ kalimat y6ang digunakan dalam perkawinan adalah Zawajtuka/ Unkihuka ( aku akwinkan ?aku nikahkan engkau )atau dengan lafadz Matta’tuka 9 aku nikahkan mut’ah engkau )[4]

Dalam perkawinan ini apabila mas kawin tidak disebutkan dan batas wakatunya juga tidak disebutkan amka batal nikahnya, sedangkan apabila maskawinnya disebutkan tetapi batas awaktunya tidak maka akan maenjadi paernikahan biasa.

Mengenai masalah anak yangdilahiarkan dari pernikahan ini statusnya adalah maenjadi anaknya sendiri, Akantetapi tidak ada thalak dan li’an, juga tidak ada waris mewarisi antara suami istari, anak berhak mewaris dari ayah maupun ibunya begitu juga sebaliknya.

Hukum nikah ini adaalh batal, dan jika terjadi maka wajib fasak ( rusak ) dan mahar wajib dibayar jika telah menyetubuhi perempuannya dan jika belum bersetubuh maka tidak wajib membayar mahar.[5]

2. Nikah Syighor

· Pengertian

Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu ‘[6]

Definisi nikah ini juga sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu”[7]

· Hukum

Berdasarkan hadits Rosulullah SAW :

“ Tidak ada nikah syighar dalam Islam”[8]

Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Bahwa Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Dan nikah syighar ialah seorang lelaki mengawinkan putrinya kepada orang lain dengan syarat orang itu mengawinkannya dengan putrinya tanpa mahar antara keduanya[9]

(ولا) يصح (نكاح شغار) للنهي عنه في خبر الصحيحين، (كزوجتكها على أن تزوجني بنتك وبضع كل) منهما (صداق الاخرى فيقبل) ذلك. وكذا لا يصح (لو سميا معه) أي مع البضع (ما لا)، كأن قال وبضع كل واحدة وألف صداق الاخرى

"Nikah Syighor hukumnya tidak sah karena dilarang oleh nabi Muhammad SAW dalam hadis bukhori muslim seperti perkataan seseorang " aku nikahkan dia (pr) kepadamu asalkan kamu mengawinkan putrimu kepadaku dan vagina mereka masing-masing sebagai mahar"[10]

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak .

Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah perkawinan tersebut sah saja asal ada maskawin untuk perempuan yang dinikahi, sebab seorang perempuan buakanlah sebuah maskawin. Akad dalam nikah ini sah, akan tetapi maskawin harus diganti dengan mahar mitsil yang seimbang.[11]

3. Nikah Tahlil

· Pengertian

Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.

Dikatakan muhallil karena ia dianggap membuat halal lagi bekas suami yang dulu agar bisa mengawini bekas istrinya yang sudah ditalak bain.

· Hukum

Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil*) dan muhallala lahu** )

Menurut Imam Syafi’I perkawinan ini sama saja dengan nikah mut’ah karena seolah-olah wali si perempuan yang dinikahkan berkata kepada calon suaminya “ ku nikahkahn engkau dengannya dengan syarat setelah engkau melakukan hubungan seksual engkau harus menceraikannya “. Berarti ada batasan waktu dalam perkawinan ini, untuk itu hukumnya tidak diperbolehkan.

4. Nikah Badal

Artinya pernikahan dengan saling tukar-menukar istri, misalnya seorang yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah sesuatu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

5. Nikah Istibdlo’

Yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan laki-laki lain dengan tujuan untuk mendapatkan benih keturunan dari laki-laki tersebut, setelah diketahui jelas kehamilannya maka diambil kembali oleh suaminya yang pertama.

6. Nikah Righoth

Yakni pernikahan yang dilakukan beberapa laki-laki secara bergantian menyetubuhi wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan wanita tersebut menunjuk salah satu diantara laki-laki yang menyetubuhinya untuk

*) Muhallil adalah seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas suruhan suami sebelumnya yang telah mentalaknya tiga kali. Hal ini bertujuan agar mantan suami itu dapat menikahi wanita tersebut setelah masa ‘iddahnya selesai.

**) Muhallala lahu adalah seorang suami yang telah mentalak tiga isterinya kemudian menyuruh seorang laki-laki untuk menikahi mantan isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat menikahi mantan isterinya kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

berlaku sebagai bapak dari anak yang dilahirkan, kemudian antara keduanya berlaku kehidupan sebagai suami istri.

7. Nikah Baghoya

Yaitu pernuikahan yang ditandai dengan adanya hubungan seksual dengan beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila. Setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebut maka dipanggillah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki tersebut sebagai bapaknya berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang menghamili.

8. Nikah dengan wanita pezina

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal”[12]

9. Nikah saat melakukan Ihrom

Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam

“ Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”[13]

10. Nikah dengan istri yang ditalak tiga

Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

“ Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu”[14]

11. Nikah dengan wanita yang senasab atau ada hubungan kekeluargaan

Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]

12. Nikah dengan wanita yang masih bersuami

Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]

13. Nikah dengan lebih dari empat orang

Berdasarkan firman Allah Ta’ala “ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda” Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya”[15]

Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersab “ Pilihlah empat orang dari mereka”[16]

IV. KESIMPULAN

Dari beberapa pemaparan diatas maka sudah jelas bawasannya pernikahan yang dilarang dalam agama islam yakni sebagai berikut:

1. Nikah Mut'ah

2. Nikah Syighor

3. Nikah Tahlil

4. Nikah Badal

5. Nikah Istibdlo’

6. Nikah Righoth

7. Nikah Baghoya

8. Nikah dengan wanita pezina

9. Nikah saat melakukan Ihrom

10. Nikah dengan istri yang ditalak tiga

11. Nikah dengan wanita yang senasab atau ada hubungan kekeluargaan

12. Nikah dengan wanita yang masih bersuami

13. Nikah dengan lebih dari empat orang

V. PENUTUP

Dari uraian kami diatas semoga dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi kita agar dapat melakukan pernikahan yang sesuai dengan islam dan menjauhi pernikahan-pernikahan yang dilarang dalam islam. Dan kami mohon kritik serta saran dari teman-teman sekiranya dalam makalah ini terdapat kekurangan yang sekiranya dapat membangun kami agar menjadi lebih baik dilain kesempatan.

VI. REFERENSI

Ø http://www.almanhaj.or.id/content/2119/slash/0

Ø http://www.al-islam.com/ind/

Ø Prof Dr Zakiyah Drajat, Ilmu Fiqih Jilid II, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta, 1995 hal : 100



[1] http://arsipmoslem.wordpress.com

[2] Minhajul Muslimin halaman 437

[3] http://www.al-islam.com/ind/

[4] Prof Dr Zakiyah Drajat, Ilmu Fiqih Jilid II, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta, 1995 hal : 100

[5] Op Cit hal 437

[6] Ibid hal 101

[7] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[8] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1415 (60)) dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/165), al-Baihaqi (VII/200), Ibnu Hibban (no. 4142) dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 7501).

[9] http://www.almanhaj.or.id/content/2119/slash/0

[10] Fathul Wahhab juz 2 hal 34

[11] Op Cit hal 100

[12] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30).

[13] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi (no. 840) dan an-Nasa-i (V/192),dari Shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu.

[14] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5317), Muslim (no. 1433), at-Tirmidzi (no. 1118), an-Nasa-i (VI/94) dan Ibnu Majah (no. 1932).

[15] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu Majah (no. 1953), al-Hakim (II/192-193), al-Baihaqi (VII/149, 181) dan Ahmad (II/44)

[16] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2241), Ibnu Majah (no. 1952), dan al-Baihaqi (VII/183). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1885).

3 komentar: